Sabtu, 23 Februari 2013

FANFICTION COBOY JUNIOR KAMU ^comatelove1.blogspot.com^


hai sobat masih bertemu deng saya IRFAN kita akan ngePOSTING fanfic coboy junior dgn judul KAMU 
mari kita simak tapi jangan lupa poskan komentar

KAMU  
 
Aku berdiri tepat di depan gerbang. Beberapa anak berlarian, bergegas masuk ke dalam dengan terburu-buru. Dari kejauhan dapat kulihat bendera merah putih berkibar halus karena terpaan angin. Ku genggam erat tali ranselku, tersenyum yakin menghadapi dunia. Hai! Namaku Iqbaal. Aku adalah pindahan dari Bandung. Aku adalah siswa rekomendasi dari sekolahku sebelumnya untuk mendapatkan beasiswa disekolah ini. Dan...
brakkkk
...seseorang menabrakku dari belakang.
"Eh, jangan diri disitu dong! mau keinjek-injek hah?"
Aku
yang sedang terkesima benar-benar kaget setengah mati hanya menunduk. "Iya"
Aku
menghela napas beberapa kali, terengah-engah.
Apa
begini ya sikap orang-orang Jakarta? Kurang ramah dan suka seenaknya sendiri? Ah tapi... tidak baik berburuk sangka kepada orang lain, aku segera menghapus pikiran burukku.
aku
hanya terkesima, terpaku melihat anak itu yang sampai benar-benar menghilang dari pandanganku. Dari kejauhan, aku melihat ia menyapa teman-temannya. Salah satu dari mereka menatap ke arahku, dan tersenyum. Aku membalas senyumnya.

'Kriiiiing'

Anak
-anak kembali berhamburan menuju kelas masing-masing. Keadaan menjadi lebih gaduh karena bel yang berbunyi. Aku yang diam segera berjalan dan mempercepat langkahku menuju kelas.
Kelasku
dimana ya? Aku yang tidak tahu sama sekali dimana kelasku hanya bisa celingukan...tiba-tiba seseorang menepuk pundakku.
"Anak baru ya?" seorang anak laki-laki yang lebih tinggi dariku, dengan nada suara rendahnya yang ramah, dan sorot matanya yang bersahabat bertanya kepadaku.
"Iya, saya pindahan dari Bandung" jawabku sambil tersenyum.
"Oh, berarti kamu anak yang dapet beasiswa itu ya? Kebetulan, tadi habis dari kantor guru, dan katanya akan ada murid baru. Ternyata kamu. Ayo ikut" ucapnya dewasa.
"Namaku Iqbaal" ucapku sambil mengajaknya bersalaman.
"Kiki. Aku ketua kelas 8A." ia membalas jabatan tanganku. "Ayo ke kelas"
Aku
mengangguk dan mengikutinya dari belakang.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

*di kelas*
Ruang
kelas itu bercat biru muda, dihiasi ornamen-ornamen yang indah, berAC, dan setiap siswa duduk perorang, keadaan ini jauh terbalik dengan sekolahku sebelumnya.
Aku
amati satu persatu teman-teman sekelasku, sampai pandanganku berhenti pada seseorang, yang setengah jam yang lalu membuatku kaget setengah mati.
Lah
, itu kan anak yang tadi nabrak aku...jadi...aku ini teman sekelasnya dia?? Ya Tuhan. Aku mendadak terdiam.
Ia tampak asyik bercanda dengan teman-temannya yang tadi. Suaranya sangat dominan di kelas ini. Terdengar bahkan sampai di muka kelas.
"Nah Iqbaal, semoga betah ya di kelas ini. Emang berisik sih, tapi anak-anaknya pinter semua kok. Kalo ada yang mau ditanya-tanya bisa tanya ke aku kok" ujar Kiki.
"Iya, makasih ya Ki. Pasti betah kok" aku tersenyum.

Kiki
mengetuk meja beberapa kali dengan penghapus papan tulis, meminta perhatian sejenak.
"Teman-teman, kita kedatangan teman baru, namanya Iqbaal. Iqbaal, silahkan memperkenalkan diri"
"Nama saya Iqbaal Dhiafakhri. Biasa dipanggil Iqbaal..."
anak
itu menatapku dan berbisik-bisik pada teman sebangkunya.
"saya adalah siswa rekomendasi dari Bandung. Saya harap teman-teman semua bisa menerima saya di kelas ini. Terima kasih" aku meneruskan kalimatku.
Kiki
menunjukkan bangku yang kosong di kelas itu, ia juga memberi tahu nama-nama setiap anak di kelas ini, dan guru-guru yang mengajar.
"Kalau yang itu namanya Bastian, sebelahnya Alvaro, tapi aku lebih suka manggil dia Aldi" Kiki menunjukkan anak-yang-menabrak-aku tadi pagi.
Aku
mengangguk. Mmmm...
Pembicaraan
kami terhenti saat guru masuk dan memulai pelajaran.
"Kamu anak baru itu ya? Sudah perkenalan?" tanya guru itu.
"Sudah bu"
"Baik kalau begitu, saya ibu Fitri, wali kelas 8A dan juga mengajar bahasa Indonesia. Selamat datang, semoga kamu bisa beradaptasi dengan baik di kelas ini" ujar bu Fitri seraya tersenyum.
"Terima kasih Bu" jawabku.
Pelajaran
dimulai.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Pelajaran
Bahasa Indonesia dimulai, semua anak ditugaskan untuk membuat puisi sesuai dengan materi yang dipelajari. Iqbaal tampak bersemangat, karena ia memang sangat suka menulis. Dari kejauhan, dua anak itu memperhatikannya.

"
Itu anak yang lo tabrak kan?" tanya Alvaro kepada Bastian.
"Iya, tadi pagi. Biarin ajalah" jawab Bastian.
"Lain kali hati-hati makanya" Alvaro menghela nafas.
"Iya" jawab Bastian cuek.

Alvaro
dan Bastian sudah bersahabat sejak lama, sejak dibangku SD.
Alvaro, atau yang terkadang dipanggil Aldi, adalah anak yang pintar, ia sangat dingin dan enggan untuk dekat dengan siapapun.
Bastian, justru sangat berbanding terbalik. Ia adalah anak yang periang, berani menantang dunia dan mudah dekat dengan siapa saja. Namun terkadang ia egois dan ingin menang sendiri.

Alvaro
mengamati Iqbaal dari kejauhan. Ia merasa ada sesuatu yang menarik dari dirinya. Sorot matanya selalu berarti, ingin tahu dan terlihat cerdas. Ia juga ramah. Beberapa anak perempuan di kelas ini juga beberapa kali melirik ke arahnya. Entahlah, mungkin memang dia menarik.

Tapi
dari situlah semuanya berawal. Semua cerita.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


"
Puisi kamu bagus sekali" puji Bu Fitri.
"Terima kasih Bu, tapi saya rasa, saya perlu banyak belajar" ucapku sambil malu-malu.
"Ibu ambil ya? Buat dipasang di mading" ia membaca sepintas lagi puisi buatanku.
"hah? tapi bu...itu nggak bagus" sergahku. Aku menunduk,
"yaudah, silahkan bu, nggak apa-apa. Saya tapi jadi sedikit malu, karena jelek puisinya"
"Percaya diri. Kamu punya bakat yang belum tentu orang lain punya"
Kali ini Bu Fitri mengalahkan argumenku. Ia benar.
"Terima kasih Bu"
Bu Fitri tersenyum dan mengacak-ngacak rambutku.

Jam
Istirahat.

Sekolah
ini cukup besar untukku, dan mempunyai fasilitas yang lengkap. Kuamati setiap sudut dari bagian sekolah ini, setiap lorong-lorong yang aku lewati. Beberapa anak-anak sedang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Aku meneruskan berjalan sampai berhenti untuk menyempatkan membaca mading. Kreatif, warna-warni, dan menarik. Ada beberapa puisi disana. Saat aku asyik membaca, tiba-tiba seorang anak perempuan membawa tumpukkan karton yang berisi guntingan majalah-majalah. Sesekali terjatuh, apalagi ia sangat kerepotan untuk membuka kunci mading.
"Perlu bantuan?" tawarku.
Ia terdiam dan melihatku sejenak.
"Boleh...makasih ya" ia menyerahkan karton itu ke tanganku dan membuka kunci mading.
"Makasih" ujarnya. Aku balas dengan senyum.
"Ini mau dipasang ya?" tanyaku.
"Iya, udah harus diganti. Udah 2 minggu" jawabnya sambil mencabut semua mading yang lama, kemudian mulai menempel-nempel.
aku
yang melihat ia sedikit repot, ku bantu tanpa menawarkan diri. Kusambar paku payung itu dan mulai menempel. Sesekali ia melirik ke arahku, dan tak jarang aku membalas tatapannya dengan senyum.
"Ini ditempel disini?" tanyaku sambil menunjuk kolom 'informasi'.
"Iya" jawabnya. "Rasa-rasanya aku belum pernah liat kamu deh" ucapnya sambil mengamati.
Aku
hanya tersenyum. Ia mengatur kertas-kertas sesuai dengan kolom yang tersedia. Sampai dibagian puisi, ia membaca salah satu kertas.
"Perasaan nggak pernah ada deh nama anak di kelas 8A, apalagi kelas itu jarang banget nulis buat mading" satu alis matanya naik karena heran.
"Siapa? Aku kelas 8A, mungkin aku tahu"
"Namanya...Iqbaal Dhiafakhri. Kenal?"
"Hahaha, itu sih aku" jawabku setengah tertawa karena sejak tadi akulah orang yang benar-benar membuatnya heran.
"Oh kamu, pasti kamu murid baru?"
"Iya, rekomendasi dari Bandung" kataku sambil menempel kertas-kertas mading.
Ia masih menatapku, kemudian membaca kertas puisiku.
"Kamu suka nulis puisi juga ya? Tadi Bu Fitri minta aku buat pasang ini di mading"
Ia menempelkan kertas puisiku.
"Terkadang, lewat puisi kita bisa menyampaikan pikiran dan perasaan kita. Menumpahkan semuanya lewat goresan tinta, dengan untaian kata yang indah" jelasku.
"Gimana kalo kamu gabung sama Mading sekolah ini? Kita lagi kurang orang" ujarnya sambil tersenyum cerah.
"Boleh. Kebetulan aku juga mau nambah kegiatan nih"
"Okay. Makasih ya udah mau bantu aku tadi. Jadi cepat selesai deh" ucapnya seraya mengunci mading, sebelum beranjak dari tempat itu.
"Sama-sama, memang seharusnya kan kita bantu orang yang sedang membutuhkan?"
Ia mengangguk, membenarkan. "Sampai ketemu" ia berbalik dan berjalan. Namun aku merasa seperti ada yang terlupakan.
"Tunggu!" sergahku. Ia berhenti dan berbalik.
"Ada apa?" tanyanya.
"Nama kamu siapa?" tanyaku sambil mengulurkan jabatan.
Ia tersenyum. Sangat lucu sekali.
"Namira" ucapnya sambil membalas jabatan tanganku.
"Iqbaal" ujarku bersahabat.

Satu
lagi teman baru. Biar ku deskripsikan. Aku sedikit lebih tinggi darinya, rambutnya panjang sebahu dibiarkan terurai, ia ramah, dan cantik. Ah ya, Ia juga suka puisi.

Karena
waktu istirahat hampir habis, aku kembali ke kelas. Lagipula sepertinya aku belum menyentuh kotak makanku sama sekali.

*
di kelas*

Aku
mengambil roti dari kotak makananku dan berjalan menuju luar kelas. Suasana diluar memang menyenangkan, saat angin dengan lembut menerpa wajah, gemerisik semak-semak. Kugigit rotiku, sambil mengamati suasana tersebut. Tiba-tiba...

Rotinya
jatuh. Anak-anak yang berlarian itu menabrak lenganku. Sehingga rotiku jatuh dengan mudahnya. Anak itu sempat menoleh, namun ia tidak peduli sama sekali. Bahkan terus berlari. Aku menghela napas. Ya sudah.

Saat
aku hendak mengambil roti itu, tiba-tiba..
"Nih" sebuah tangan menggenggam kotak makanan berisi roti. Mataku segera menyusuri melihat pemilik tangan tersebut.
"Ambil" ia menawarkan. Aku masih terdiam.
"Ayo ambil" ia memperjelas.
Aku
ambil satu roti dari kotak makannya.
"Terima kasih, kamu baik banget"
"Sama-sama. Lain kali, hati-hati" ia duduk disampingku dan mengambil rotinya. "Duduk di sini memang membuat hati tenang ya. Aku suka duduk di sini." ia menggigit roti itu dengan pandangan lurus ke depan.
Aku
tersenyum mengiyakan.
"Namamu Alvaro ya?" tanyaku.
"Iya. Pasti tau dari Kiki?" tebaknya.
"Iya, hahaha. Siapa lagi?"
Ia hanya mengulum senyum dan menghabiskan rotinya.
"Aku ke dalam dulu ya" pamitnya.
"Makasih rotinya" ucapku sekali lagi.
Ia hanya tersenyum.

Di
setiap ada kejelekan pasti ada kebaikan. Aku sering merasakan hal ini di sekolah baru ini. Di setiap aku mengalami kejadian yang tidak mengenakkan, pasti di selang dengan hal yang menyenangkan. Mungkin itulah hidup yang sebenarnya.

*
kriiiing*
"Iqbaal, nggak masuk kelas?" tanya Kiki.
"Ini baru mau" jawabku dan beranjak untuk segera masuk kelas. Selang beberapa menit, guru mata pelajaran Seni Budaya masuk.

"
Anak-anak, hari ini kita akan melukis. Tolong ambil buku gambar dan cat warna kalian dari loker, dan pilih objek mana yang akan kalian lukis"

kenapa
harus melukis.....kenapa........aku menghela kesal.

Beberapa
anak berhamburan keluar, termasuk aku.

Aku
memilih duduk di rerumputan sekolah, mencari objek yang pas walaupun sebenarnya aku tidak pandai melukis.

Dari
jarak beberapaa meter, kulihat seseorang sedang duduk, beberapa kali mencampur cat air miliknya dan menggoreskan ke kertas gambarnya.

"
Hai, sendirian aja?" ku sapa dirinya.
Ia hanya membalas dengan tatapannya.
"Boleh duduk?" pintaku.
Ia membereskan cat airnya, lalu menggerser duduknya, memberi isyarat mempersilahkan aku duduk.
Aku
segera menghempaskan diri sampingnya. Ia masih sibuk menyapu kuas-kuas di kertasnya. Ku tengok hasil lukisannya, sangat bagus!!
"Lukisanmu bagus" pujiku.
"Makasih" jawabnya singkat.
Ia sangat acuh, namun aku tidak sama sekali merasa diperlakukan tidak nyaman.
"Aku juga mau bisa melukis" ucapku mengiba.
"Melukis itu juga bagian dari menyalurkan keinginan dan perasaan kita, lewat campuran warna, dan di corat-coret diatas kertas. Sekarang cari objek yang menurut lo bagus"
Kuturuti
apa yang ia perintahkan. Mataku mencari-cari apa sesuatu yang menarik untuk dilukis.
"Kalau pohon yang disana itu gimana?" usulku.
"Boleh, itu kan terserah lo" jawabnya sambil terus menggerakan kuasnya.
dengan
ragu-ragu kusapu cat air itu pada kertas, menggambar garis dari pohon tersebut.
"Jangan ragu-ragu, nanti hasilnya beda" ucapnya. Aku mengangguk dan mulai melukis dengan tidak-ragu-ragu-lagi. Perlahan aku mulai nyaman dan tenggelam dalam lukisanku, menebalkan kontur-kontur, mewarnai dedaunan. Tanganku mulai terbiasa menyapu kuas.
"Oh ya, lo anak yang gue tabrak tadi pagi kan? Sorry ya" ucapnya.
"Iya. Nggak apa-apa, mungkin aku emang salah" tanganku berhenti melukis, menoleh kearahnya.
"Bastian" sebutnya sambil mengulurkan tangan.
"Iqbaal" aku membalas jabatan tangannya.
"Gue sih udah tau nama lo"
Aku
tersenyum dan kembali menyelesaikan gambar yang sedikit lagi selesai.
Tiba
-tiba ia mengoleskan cat berwarna kuning dengan kuasnya dan mencoret bagian atas gambar pohonku.
"Pohon itu nggak warnanya hijau semua kan? Kalau hijau semua nggak sesuai dengan realita"
Sepintas
gambarku memang sedikit lebih mirip dari yang tadi.
"Makasih ya, ini bener-bener gambar aku yang paling bagus! Karena kamu juga. Makasih udah mau bantu" berulang kali aku melihat hasil lukisanku, batas antara kagum dan heran sangat tipis.
"Iya sama-sama. Gue ke kelas duluan" ucapnya santai dan beranjak dari tempat tersebut.
Aku
mengangguk senang, dan kembali meneruskan lukisanku hingga selesai.
Tempat
ini benar-benar nyaman untuk berlama-lama. Dari sini terdengar gemericik air mancur dan suara samar-samar dari arah lapangan.

"
Iqbaal"
Aku
mencari sumber suara tersebut. Ternyata Kiki.
"Ayo masuk Baal! Pelajaran udah mau selesai" teriaknya.
"Iyaaaa sebentar" ku tenteng hasil lukisanku dan berlari menuju kelas.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Iqbaal
sudah mulai merasa nyaman dengan teman-teman barunya. Ia tidak merasa sendiri lagi. Tanpa ia sadari, pertemuan di depan mading itu mempunyai cerita tersendiri bagi Namira. Sesuatu yang sama sekali belum pernah ia alami.

"Kanya"
panggil Namira dari kejauhan.
"Iya?" jawab pemilik nama Kanya tersebut.
"Aku lagi seneng banget nih"
"Oh ya? Kenapa?" Kanya ikut tersenyum karena ekspresi Namira.
"Hmmm...ada pujangga baru di sekolah kita. Dia baik banget, bantuin aku nempelin mading...." Namira bercerita sambil tersenyum-senyum, matanya melihat nanar ke atas, seperti sedang mengingat-ingat.
"Anak kelas?" nada Kanya berusaha menebak.
"8A" jawab Namira cepat.
"Sekelas sama Bastian dong?"
"Ya gitu deh" jawab Namira yang masih tersenyum-senyum.
"Hahaha, Cie aja deh buat lo" timpal Kanya setengah tertawa.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Ternyata
adaptasi sama lingkungan baru itu sama sekali tidak sulit ya. Tidak terasa sudah 2 minggu aku bersekolah disini. Aku sudah mempunyai banyak teman, baik teman-teman sekelas maupun teman ekskul mading. Mereka dapat menerimaku dengan baik. Bahkan teman-teman sekelas, aku merasa sangat nyaman di sekolah ini.
"Iqbaal. Ayo pulang?" Kiki bertanya sambil menutup jendela dan mendorong beberapa kursi.
"Sepertinya nanti deh ki" aku menjawab sambil sibuk mencari dan menulis jawaban.
"Lagi ngapain sih?" tanyanya sambil berjalan menghampiri.
"Ngerjain tugas" jawabku.
"Tugas apa?"
Ku
tunjuk kertas-kertas yang tergeletak diatas meja.
Kiki
menarik kursi dan duduk, lalu mengambil juga membolak-balik kertas tersebut.
"Kenapa di kerjain sendiri? Ini kan tugas kelompok" tanya Kiki.
"Iyaa, tapi kalo diselesain secepatnya kan lebih baik. Kalo kamu mau pulang duluan nggak apa-apa ki. Aku selesaiin sendiri aja"
"Nggak, aku bantuin aja. Lagipula ini buat kepentingan bersama. Jadi lebih baik kerjain sama-sama" jawab Kiki seraya tersenyum.
"Makasih ya Ki" Kiki sangat bertanggung jawab sekali. Ia benar-benar pemimpin yang baik.
"Iya sama-sama"
"SELESAI!!!" teriakku.
"Iya akhirnya selesai juga ya, yaudah ayo kita pulang" ajak Kiki sambil membereskan buku-buku diatas meja.
Mungkin
kalau tidak ada Kiki aku bisa berlama-lama di kelas ini. Sejak di Bandung, teman-temanku selalu mengandalkan dan menyuruhku kerja sendiri, padahal itu kan kerja kelompok. Ternyata, pekerjaan akan lebih mudah jika dikerjakan bersama-sama. Kiki baik sekali, ia benar-benar sahabat yang sangat baik.
"Ayo" jawabku sambil beranjak dari kursi.

Ternyata
aku dan Kiki berlawanan arah. Jadi kami terpaksa tidak menaiki angkutan yang sama. Ia telah mendapatan angkutan terlebih dulu.

Dari
kejauhan kulihat seorang anak perempuan memakai seragam yang sama denganku. Ku hampiri ia yang masih celingukan menunggu bus. Sesekali ia melirik jamnya.

"
Hai" sapaku.
Ia melirik dan tersenyum.
"Sepertinya, kita dari sekolah yang sama ya?"
Ia hanya mengangguk sambil menatap seragamku.
"Kok baru pulang?" tanyaku.
"Habis latihan basket"
aku
mengangguk pelan.
"Kenalin, aku Iqbaal" kuulurkan tanganku.
"Kanya" ia membalas jabatan tanganku.
"Kelas berapa?" biar kutebak, anak ini sepertinya kelas 8 juga.
"Kelas 8. Lo sendiri?"
"Aku juga kelas 8. 8A"
Anak
itu berpikir sebentar, mencoba mengingat-ingat sesuatu.
"Oh, jadi lo ya yang namanya Iqbaal"
Aku
tersenyum bingung, "iya. Memangnya ada apa?"
"Nggak apa-apa. Jawabnya santai" setiap kali ia tersenyum, ada sesuatu hal yang kurasakan dalam diriku.
Setelah
15 menit berbincang-bincang, akhirnya bus pun datang.

Kupersilahkan
ia agar memilih tempat duduk yang ia mau.

Kuhempaskan
diriku ke kursi, melepas lelah menunggu yang cukup lama.
"Rumah lo dimana?" tanyanya.
"Alam Indah. Kamu?"
"Alam Indah? gue juga disitu! dimananya?" Ia nampak terkejut.
"Oh..aku tinggal sama kakakku disini. Memangnya rumahmu di situ juga?" tanyaku balik.
"Iya. Bisa kebetulan banget ya?" ia menjawab sambil tersenyum karena kebetulan tadi.
"Eh...itu tempat..."
Matanya
menatap ke jalanan. Rambutnya terurai, terkena terpaan angin. Terkadang tangannya menyelipkan rambutnya ke belakang telinganya. Ia murah senyum, namun cuek. Dan itu sangat membuat aku penasaran.
"Iqbaal" ia membuyarkan lamunanku.
"Ah..eh...kenapa?" jawabku gugup.
"Nggak, itu tempat gue latihan basket" ia meneruskan kalimatnya.
"Ohhh, kali-kali ajarin aku main basket ya?" pintaku.
"Boleh, ayo aja. Aku biasanya setiap hari minggu"
"Bisa diatur kok"
Tidak
terasa kami hampir sampai di tempat tujuan. Kami hanya perlu jalan beberapa meter untuk sampai ke tempat penitipan sepeda.
"Kanya, aku ambil sepeda dulu ya" izinku.
"okay"

'Kring kring'
aku bunyikan bel sepedaku.
"ayo naik" ajakku.
"serius? gue berat lho?" tanyanya.
Aku
hanya menggeleng pelan, kemudian ia naik ke sadel sepedaku.

Sambil
mengayuh sepeda, aku berbicara banyak dengannya. Entahlah, aku benar-benar merasa nyaman sekali. Tapi, satu hal yang benar-benar menjadi hal adiktif untukku adalah snyumnya. Baiklah, aku mulai tidak mengenali diriku sendiri-_-

"
Rumah gue belok kanan, Baal" ia menunjukan arah. "stop di yang catnya orange ya"
ku
belokkan sepedaku ke arah yang ditunjukan, dan mengantar dia sampai depan rumahnya yang bercat jingga.
"makasih banyak ya Iqbaal, kebetulan banget ya hari ini gue nggak bawa sepeda, jadi bisa bareng"
Kebetulan
? iya...semua memang kebetulan.
"yaudah, aku pulang dulu ya." pamitku.
"hati-hati ya Iqbaal" ia melambaikan tangan sambil tersenyum.


Kukayuh
sepedaku cepat. Sesampainya dirumah...kakak belum pulang rupanya.  Ku lepas sepatuku, berganti pakaian dan mencuci tangan, kaki juga muka, segera kuhempaskan diriku diatas tempat tidur. Aku menatap langit-langit kamarku, aku bingung dengan apa yang harus aku lakukan. Semakin lama, pandanganku menjadi gelap, secara sayup-sayup aku mulai terhanyut ke dalam mimpi.
 "Iqbaal..bangun dong. Iqbaal..." seseorang menggoyang-goyangkan tubuhku sehingga aku mulai sadar dan bangun. Aku mengucek mataku, ternyata kakak.
"ada apa kak?" aku bertanya dengan mata setengah terpejam.
"udah jam setengah 5, mau maghrib, jangan tidur. Shalat dulu sana, habis itu belajar"
aku
segera beranjak dari tempat tidur, mengambil air wudhu untuk sembahyang.
Setelah
sembahyang, aku segera berlari ke teras. Menyalakan keran air, dan menyiram tanaman.

"
Iqbaal!" seseorang memanggil namaku. Aku segera mencari sumber suara itu.  
 Aku mencari sumber suara tersebut. Kubuka pintu pagar dan melongok keluar.
Gadis itu berdiri, menuntun sepeda, dengan kantong plastik di stang kanan sepedanya.
"Kanya? Kok tau rumahku?" aku agak sedikit heran melihatnya.
"Tau dong. Gue nanya ke tetangga-tetangga lo" jawabnya sambil tersenyum puas.
"Oh, ada perlu apa?"
Ia menyodorkan tinggi plastik itu ke depan mukaku. "dari Namira"
"Hah? Namira? Kok kenal Namira?"
"Iyalah kenal! dia temen gue dari SD. dia tadi ke rumah. Bantu ibu buat kue, dia jago banget lho! dan dia bilang suruh anterin sedikit buat lo!" ia menjelaskan sambil tersenyum dan mengangkat alisnya. Ia lebih mirip sales yang mempromosikan produknya.
Aku menerima kue itu, dan mengintip sedikit. "Oh, makasih banyak ya, tolong bilangin ke dia. Pasti enak banget deh, nanti aku makan"
Ia mengangguk senang. Senyumnya tidak hilang dari wajahnya, sangat adiktif.

"Iqbaal, ada temennya kok nggak disuruh masuk?" teriak kakakku dari dalam.
"Oh iya, lupa. Masuk dulu Nya" aku mendorong pintu pagar, bermaksud melebarkan pintu gerbang. Tiba-tiba tangannya menyentuh tanganku, bermaksud untuk menyergah.
"Nggak usah, gue udah mau pulang"
Dalam beberapa detik aku tidak merasakan apa-apa sama sekali, ini baru pertama kalinya aku merasakan hal seperti ini.
"Iqbaal!" ia mengejutkanku.
"Ah..iya? Apa? Mau pulang? Hati-hati Kanya"
"Sampe ketemu besok yaa? salam buat kakak lo" ia mengayuh sepedanya cepat.
Aku masih berdiri depan rumah, entahlah, ia membuat diriku menjadi kikuk. Setiap mengingatnya, perasaanku mulai tak menentu...jangan-jangan ini...
"Iqbaal" kakakku menepuk pundakku, membuyarkan lamunanku.
"Ngeliatin siapa sih?" Kakakku melongok keluar, melihat siapa yang aku pandangi sejak tadi. Aku juga menjadi bingung, siapa yang aku lihat sejak tadi sehingga tidak langsung masuk ke rumah.
"Nggak, bukan apa-apa" jawabku mengelak.
"Oh, tadi temen?"
"Iya kak. Dia nganterin kue nih" aku menunjukkan dengan menaikkan kantong plastik itu.
Kakakku segera menyambar,
"Baru sekolah sebentar, udah dapet penggemar aja" kakakku meledek.
"Cuma temen kak, bukan penggemar"
"Asiiiiiikkkk, Rainbow Cake!!!" kakakku sangat menyukai rainbow cake. Pelangi? Iya, baru saja aku melihat pelangi. Bahkan lebih indah dari pelangi, lebih indah dari.....
"Bengong terus dari tadi! ayo makan kuenya" kakakku lagi-lagi mengagetkanku. Kakakku masuk ke dalam, dan aku menatap langit yang berwarna jingga. Mengapa langit terlihat indah..tak seperti biasanya. Apa yang terjadi? semua terasa berbeda......


Kami duduk di meja makan. Kakakku meletakkan kue itu di piring dan memberikan sendok dipinggirnya.
Ia mulai memotong kue itu.
"yang ngasih namanya siapa?" ia bertanya sambil memakan kue itu.
"yang ngasih Namira, yang nganterin...Kanya"
"Fans?" kakakku bertanya menggoda sambil memasukkan potongan pertama ke dalam mulutnya.
"Bukan, please deh kak. Aku nggak punya fans"
"Belum kali. Waktu di Bandung....tau sendiri, kan kakak jadi kebagian juga, dapet coklat, eskrim" kakakku tiba-tiba tertawa karena menggodaku.
Aku hanya tersenyum, biasanya aku balas menggoda, tapi kali ini aku hanya bisa tersenyum.
"Ihh, kamu kenapa sih Baal? serem deh daritadi aneh gitu"
Aku tidak menjawab. Kupotong kue itu, lalu memasukkan ke mulut dan mengunyah perlahan. Enak. Pantes aja kakak suka rainbow cake.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Kuikat tali sepatuku, lalu kutuntun sepeda sampai keluar gerbang rumah. Kukunci pagar karena kakak sudah berangkat lebih pagi dariku. Sepeda kukayuh tingan ...kenapa nggak sekalian nyamper Kanya? stang sepeda kubelokkan ke gang rumahnya. Cittttt....kurem sepedaku di depan rumah yang ber cat jingga.
'Kring kring' "Kanyaaaaa..." setelah dua atau tiga kali memanggil. Keluarlah seseorang dari pintu tersebut.
"Iqbaal?"
"Nya, ayo berangkat bareng. Udah siap kan?"
Ia menatapku sesaat. "Boleh, gue pake sepatu dulu ya"
Beberapa saat kemudian, ia menuntun sepedanya keluar rumah.
"Ayo berangkat" kakinya sudah berada diatas pedal sepedanya.
Aku mengangguk. Sepeda kami berjalan beriringan, kami berbincang-bincang, bersenda gurau, dan entah kenapa waktu sangat cepat sekali berjalan.
"Iqbaal lama nih, ayo susul kalo bisa" ia mengayuh sepedanya cepat meminta aku agar menyusulnya.
Aku hanya tersenyum, membiarkan ia mendahuluiku. Bukanlah hal yang sulit untuk menyusulnya, namun melihatnya tersenyum, tidak ada hal yang lebih indah dari itu.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

"Mi, makasih ya kuenya kemarin, enak banget loh!" ku ucapkan terima kasih sambil berjalan bersama Namira di koridor sekolah.
"Sama-sama. Itu cuma belajar kok" ia hanya menunduk, sesekali tersenyum.
"Tapi serius enak! Rainbow cake terenak yang pernah aku makan" aku benar-benar bersungguh-sungguh sambil mengacungkan "swear" dengan jari telunjuk dan jari tengahku. Ini pertama kalinya aku memakan rainbow cake, jadi....
Kulihat ia benar-benar tersenyum malu-malu, kali ini wajahnya memerah. Dia sangat lucu sekali, aku bahkan tertawa karenanya.

-----------------------------------------

Dibalik pilar, seseorang yang mendengar percakapan mereka sejak awal tadi. Alvaro mendengar setiap kata dan candaan yang terucap diantara mereka.
"Jangan-jangan Namira suka sama Iqbaal..." pikirnya. Ia mendengus kesal, segera ia hentakkan kaki dan meninggalkan tempat itu karena bencinya.
Iqbaal mulai mengambil semuanya perlahan, semuanya....bahkan Namira. Lalu selanjutnya siapa? Bastian? Alvaro segera berlari menuju kelas dengan perasaan campur aduk. Seketika, ia sangat membenci Iqbaal, tanpa alasan yang konkret.

-----------------------------------------
"Ki, ayo kita kasih tugasnya ke Bastian sama Alvaro" ajakku.
"Ayo" kemudian aku dan Kiki menghampiri meja mereka, mereka sedang asyik bersenda gurau.
"Al, Bas, ini tugas kelompok kita, udah aku dan kiki yang ngerjain" mereka menatap kami sejenak, aku sodorkan kertas itu ke hadapan mereka berdua.
"Ini udah lo kerjain? Berdua?" Bastian mengambil dan membolak-balik halaman kertas itu.
Alvaro merampas tiba-tiba dari genggaman Bastian, setelah melihat-lihat sebentar..
"Apaan nih?! lo ngerjain berdua doang?! Nggak ngajak kita?! maksud lo apa?! cari muka?!" Ia membentak, membuat aku kaget setengah mati.
"Bukan gitu Al, kita ngerjain karena kita pikir lebih cepat lebih baik, kalau kamu mau koreksi, bisa kalian koreksi" aku menjelaskan dengan suara parau dan tersendat-sendat.
"Oh...bukan buat cari muka? Biar lo berdua doang yang dapet nilai? Lo berdua nggak nganggep kita? Lagian...jelek banget nih, lo berdua ngerjain udah berasa paling pinter aja!"
Brakk! Kiki menggebrak meja. "Jaga ya omongan lo! Kita ngerjain niatnya baik! nggak ada maksud buat nggak nganggep lo, Al! Lo jangan asal judge gini! Mana etika lo buat ngehargain usaha kita Al?!" Kiki membalas perkataan Alvaro. Aku hanya dapat diam seribu bahasa, aku benci pertengkaran.
"Lo yang nggak ngehargain gue sama Bastian! Lo main kerjain sendiri aja! Buat apa gua berterima kasih atas pekerjaan yang gak gue minta? Hah? Dan denger ya lo Iqbaal, gue nggak suka cara lo cari muka gini!" Alvaro menunjuk-nunjuk ke arahku. "Mending lo bawa deh nih tugas, terserah lo mau diapain" kali ini ia melempar kertas itu ke Kiki. Kiki yang dari tadi sudah habis kesabaran dan berkali-kali mengepalkan tangannya untuk menahan semua emosinya, berkali-kali aku menenangkannya. Alvaro berjalan keluar ruangan, di temani sorot-sorot mata setiap penjuru kelas, dan diiringi bisik-bisik.
"Lo egois! Lo nggak bisa menghargai orang! Pantes temen-temen lebih milih main sama Iqbaal daripada lo! Cara lo salah!" teriak Kiki. Langkah Alvaro sempat terhenti, namun ia meneruskan untuk berjalan keluar kelas.
"Nggak seharusnya lo begitu Al!"

"Maafin Aldi Ki, Baal. Gue juga nggak tau kenapa dia begitu sikapnya, gue bahkan baru tau dia marah begitu" Bastian bahkan terheran-heran karena sikap Alvaro.
"Nggak apa-apa..." jawab Kiki yang sudah mulai sedikit tenang.
Alvaro kenapa..segitu salahkah aku mengerjakan tugas ini tanpa dirinya?
"Mending, lo kerjain aja deh sama dia, kalo mau lo ganti ya ganti, sesuka lo aja" jawab Kiki menyudahi semuanya, Kiki segera kembali ke tempat duduknya. Ia menatap dan membalas tatapan seluruh anak-anak di kelas, sampai mereka mulai kembali dengan aktivitas masing-masing.
"Ki, aku jadi merasa bersalah" aku duduk disampingnya.
"Nggak, dia emang suka gitu, biasalah" jawab Kiki cuek.


-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Alvaro menatap nanar keadaan sekitar, ia terdiam. Sebenarnya, ia hanya berusaha mencari kesalahan, tidak ada yang salah dengan semua ini. Hanya saja kebenciannya yang mulai terlewat batas.
"Al, lo kenapa sih tadi?" Bastian membuyarkan lamunan Alvaro.
"Nggak apa-apa"
"Pelampiasan? Iya?"
"Gue cuma nggak suka caranya"
"Udahlah Al, jangan begini terus. Gimana lo bisa punya banyak temen?"
"Lo mau belain dia? Yaudah sana main aja sama dia!" nada suara Alvaro meninggi.
"Lo emang keras kepala. Susah ngomong sama lo!"
"Makanya nggak usah ngomong sama gue! gue nggak semenyenangkan anak baru itu!" Alvaro segera beranjak dari tempat tersebut dengan kebencian yang terlewat batas, meninggalkan Bastian melongo karena sikapnya.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
 sekian dari saya semoga terhibur
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

1 komentar:

  1. aku suka ceritanya meski endnya kurang memuaskan :D
    ff menarik dan kata-katanya juga mudah dimengerti...^^
    oya baca juga ya fanficku disini http://princessmalfoycullen.blogspot.com/
    Mencoba saling berbagi cerita ,right ???
    Thankx

    BalasHapus